Sugawa.id – Pakar hukum yang juga Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly menyatakan bahwa corak demokrasi Indonesia haruslah mengacu pada ideologi Pancasila sesuai dengan kesepakatan para pendiri bangsa, bukan untuk menang-menangan.
“Sejatinya corak demokrasi gotong royong dan musyawarah untuk mufakat dan saling mengalah untuk mufakat atau berkompromi merupakan penyelenggaraan demokrasi Indonesia yang ideal, bukan dengan logika menang-menangan, adu kekuatan, tipu muslihat dan voting. Karena gotong royong adalah gambaran jiwa Indonesia yang murni. Karena itu, kita harus kembali kepada demokrasi kita yang sejati,” ujar Yasonna H Laoly kepada wartawan, Rabu (26/4/2023).
Dikatakan, selama ini penyelenggaraan politik pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensial bukan parlementer. “Sistem parlementer sebagaimana namanya adalah sistem pemerintahan yang dikontrol oleh parlemen. Suatu pemerintahan hanya akan bertahan jika didasarkan atas koalisi antar partai di parlemen. Sejarah mencatat Indonesia di bawah sistem parlementer berada dalam kondisi kabinet yang jatuh bangun, krisis politik dan bahkan timbul pemberontakan di daerah, “ tutur pria kelahiran 27 Mei 1953 ini.
Baca Juga: Sidak Hari Ini, Sebanyak 88 Persen ASN Depok Kembali Berdinas
Karena itu Indonesia harus tetap menjalankan sistem presidensial, dalam mengusung capres-cawapres merujuk pada pasal 6A ayat (2) UUD NKRI tahun 1945 bahwa “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Begitu pula dalam membentuk pemerintahan tidak diperlukan koalisi karena presiden memiliki hak prerogatif dalam membentuk kabinet.
"Sehingga kerja sama menyusun pemerintahan dalam sistem presidensial tegas diatur dalam konstitusi adalah berdasar pada hak prerogatif presiden terpilih, “ ujar lulusan North Carolina State University ini.
Yasonna menyatakan mengenai masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam sistem presidensial bersifat fix term yakni 5 tahun dalam satu periode, maka koalisi dalam parlemen tidak dikenal. “Sehingga tidak tepat menggunakan istilah koalisi, baik dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden maupun dalam pembentukan pemerintahan,” tambahnya.
Baca Juga: Keluarga Ken Admiral Pernah Didatangi AKBP Achiruddin Hasibuan dan Dimaki dengan Bahasa Kotor
Ayah empat anak ini mengungkapkan lebih tepat menggunakan istilah kerja sama. Istilah tersebut lebih menggambarkan suatu pembantingan pikiran dan tenaga demi mencapai tujuan bersama dengan posisi masing-masing secara proporsional.
“Prinsip proporsionalitas ini sangat penting karena menuntut adanya keseimbangan hak dan kewajiban pelaku kerja sama politik. Hal itulah yang membuat pembentuk undang-undang menentukan syarat pencalonan presiden dan wapres harus memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional. Logikanya partai yang sudah bekerja keras mendapatkan simpati rakyat, haruslah diberi porsi yang lebih besar dalam hal hak-hak politik dibanding partai yang belum maksimal meraih suara rakyat. Asas proporsionalitas inilah yang kiranya menjadi pegangan dalam kerjasama antar partai dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden,” jelas Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Hukum dan Perundang-Undangan ini.
Ketika suatu partai misalnya memenuhi syarat 20 % dari jumlah kursi DPR, ujarnya, maka secara otomatis disebut pengusul. Sementara yang tidak memenuhi disebut pendukung. Ini adalah logika yang memenuhi prinsip fairness (kewajaran) karena semua pihak diletakkan dalam bingkai yang sesuai porsinya.
“Sistem politik kita memberi reward (penghargaan) kepada semua partai untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wapres sendiri, tentunya dengan syarat bekerja keras mendapat simpati rakyat dalam bentuk 20% dari jumlah kursi DPR. Sehingga dalam kerja sama politik baik dalam tahapan pemilu presiden 2024 maupun kerja sama dalam pembentukan kabinet pasca pemilu, haruslah mengacu pada spirit demokrasi Pancasila yakni kerjasama politik yang bernafaskan gotong royong dimana keadilan dijunjung secara proporsional,” tegasnya.
Artinya, kata Yasonna, setiap pelaku politik yang bekerjasama memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan proporsinya dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah UUD NRI 1945, UU Pemilu dan etika politik yang baik. “Dengan begitu, kerjasama politik akan dipenuhi oleh suasana hikmat kebijaksanaan yang di dalamnya tergambar semangat untuk meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan,” tuturnya. ***
Artikel Terkait
Anugerah Bintang Mahaputera Adipradana Membuat Yasonna Laoly Makin Bersemangat
Buka Puasa Bersama, Stafsus Menkumham Ajak Masyarakat Asahan Tingkatkan Ekonomi Melalui Kekayaan Intelektual
Menkumham Yasonna Tegaskan Pentingnya Data Beneficial Ownership untuk Cegah Kejahatan Pencucian Uang
Top, Menkumham Perkenalkan Olahraga dan Budaya Tradisional Indonesia pada Para Dubes Negara Sahabat
Raih 2 Gelar di HBP Shooting Tournament, Menkumham Bocorkan Rahasianya…
Dalam Dua Hari Menkumham Sabet Tiga Gelar Kejuaraan Menembak, Terakhir di Piala Paspamres 2023