Sugawa.id - Sidang uji materi Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 UU Kejaksaan digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), pekan kemarin.
Jovi Andrea Bachtiar yang berprofesi sebagai Analis Penuntutan/Calon Jaksa di Kejaksaan Negeri Tojo Una-Una, Wakai, selaku pemohon yang mempermasalahkan terbukanya jabatan Jaksa Agung dari non karir.
Welly Anggara selaku kuasa hukum pemohon berharap Mahkamah memberikan tafsir konstitusional untuk memperbaiki definisi Penuntut Umum dalam Pasal 1 angka 3 UU Kejaksaan agar mencakup juga Jaksa Agung selain jaksa yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Karena bisa saja seorang Jaksa Agung merupakan pensiunan jaksa yang tidak lagi berstatus PNS.
Baca Juga: Kejari Depok Akan Hadirkan Dua Ahli Forensik di Sidang Pembunuhan Anak Kandung
Dengan demikian, norma a quo nantinya diharapkan tidak lagi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan. Pemohon juga meminta Mahkamah memberikan tafsir tentang pengangkatan Jaksa Agung yang tidak disertai adanya fit and proper test di DPR RI yang menjadi bagian dari penerapan check and balances. Menurut Jovi, hal itu dapat berakibat mengganggu independensi Kejaksaan Agung RI sebagai penegak hukum.
Pasal 20 UU Kejaksaan, kata Pemohon, membuka ruang kesempatan dengan sangat mudah bagi seseorang yang tidak mengalami berbagai hal dan tahapan proses sebagai jaksa untuk menjadi Jaksa Agung. Padahal, Pemohon sendiri telah bersusah payah merintis karier sebagai Analis Penuntutan selama 1-2 tahun dan mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) selama berbulan-bulan supaya diangkat sebagai seorang jaksa. Norma tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
"Tanpa mengikuti PPPJ, di mana pemohon hanya untuk mengubah status dari analis penuntutan menjadi calon jaksa harus lulus pelatihan yang diadakan di Badiklat Kejaksaan RI. Ada kemungkinan tidak lulus jika ada penilaian pimpinan itu tidak layak untuk dinyatakan lulus dan dilantik," katanya di sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih yang dilansir dari laman MK.
Baca Juga: Data Pajak Soimah Dibuka, Stafsus Menkeu Bisa Dilaporkan ke Penegak Hukum, Begini Penjelasannya
Anggota majelis panel Wahiduddin Adams langsung memberi nasihat terkait kerugian konstitusional yang belum menukil dalam permohonan. Bukan hanya itu, belum pula diuraikan hubungan sebab-akibat dari keberlakuan norma dengan kerugian yang potensial dialami pemohon.
Anggota majelis panel lain, Enny Nurbaningsih menyebutkan untuk bagian kewenangan Mahkamah disebutkan bunyi UUD 1945, UU Kekuasaan Kehakiman, UU MK, sehingga berwenang mengujikan perkara. Lalu, dengan hak yang diberikan konstitusi terhadap pemohon belum diuraikan pada permohonan.
"Tunjukkan ada atau tidaknya kerugian konstitusional yang faktual atau potensial. Untuk tax payer ini tidak perlu karena tidak berkaitan dengan UU Perpajakan," imbuhnya.
Baca Juga: Dipakai 40 Tahun Jalan Dahwa Digugat, Begini Kata Komisi IV DPRD Kota Tangerang
Sedangkan, Ketua Majelis panel Suhartoyo menyebutkan perlu argumentasi yang padat dan substantif dari permohonan, sehingga runutan dari permohonan menjadi lebih ringkas dan jelas. Selain itu, berkaitan dengan legal standing sebaiknya diuraikan kerugian yang potensial. "Berikan pandangan perbedaan dipimpin jaksa agung yang karier dengan yang tidak karier, berikan narasi-narasinya," katanya.***(Janter)