Sugawa.id - Pengemat politik Ray Rangkuti memberikan analisis menarik terkait proses uji materil sistem proporsional tertutup atau terbuka untuk Pemilu 2024 di Mahkamah Konstitusi.
"Soal proporsional terbuka untuk kembali ke tertutup, nampaknya, makin kuat di lingkaran MK. Dugaannya, 3 hakim menolak, 6 lainnya menerima. Khususnya hakim yang berasal dari DPR, atau pemerintah," katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (19/3/2023).
Menurut Ray yang juga pendiri Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).ini, sistem proporsional tertutup bakal membuat sirkulasi pimpinan partai jadi tidak sehat.
Baca Juga: Masuk Bursa Capres-Cawapres PDI Perjuangan, Pengamat Sarankan Erick Tohir Lepas Jabatan Ketum PSSI
Ray mengatakan bahwa di dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Nah, setelahnya, pemenang kursi anggota DPR tetap ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini telah digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999 lalu.
Untuk sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg yang diinginkan ataupun partainya. Jadi aspirasi warganegara dapat ke calengnya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi parlemen. Sistem ini diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019.
Pada sistem proporsional tertutup, caleg berlomba-lomba mendapatkan nomor urut teratas agar bisa memenangkan kursi parlemen. Untuk mendapatkan nomor urut teratas, tentu kader harus sabar menanti seniornya atau orang yang dekat dengan ketua umum tidak mencalonkan lagi.
Baca Juga: Akhirnya, Empat Nama Masuk Bursa Capres-Cawapres PDI Perjuangan
Ray kemudian menyebutkan cara lain untuk mendapatkan nomor urut teratas, adalah dengan merebut kepemimpinan partai. Hal ini lah yang ditakutkan Golkar sebagai partai politik yang selama ini sirkulasi elite-nya terbilang lancar dan dinamis.
"Kalau sistem proporsional tertutup berlaku, bakal terjadi kudeta-kudeta ketua umum partai. Karena itu caranya bisa naik ranking," paparnya. ***(Feris Pakpahan)