Mengenal Tradisi Ruwahan, Budaya Masyarakat Jawa Menyambut Bulan Ramadhan

- Kamis, 16 Maret 2023 | 14:49 WIB
Caption : Tradisi Ruwah, Masyarakat Jawa Menyambut Ramadhan. (Dok Foto: Instagram @r.wisanggenii)
Caption : Tradisi Ruwah, Masyarakat Jawa Menyambut Ramadhan. (Dok Foto: Instagram @r.wisanggenii)

Sugawa.id - Menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, masyarakat di tanah air memiliki keanekaragaman aktivitas budaya atau tradisi. Bagi masyarakat Jawa sendiri, kehadiran bulan Ramadhan identik dengan tradisi budaya Ruwahan atau Nyadran. Baca Juga: Puasa Ramadhan Sebentar Lagi, Kapan Batas Waktu Mengganti Puasa Tahun Lalu dan Hukumnya?

Tradisi Ruwahan merupakan kearifan lokal masyarakat Jawa yang tetap dilestarikan hingga saat ini. Karena tradisi Ruwahan merupakan hasil akulturasi budaya Jawa (kejawen), yang merupakan kepercayaan adat setempat dengan ajara agama Islam.

Pada kanal YouTube kalam - kajian Islam, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau kerap disapa Gus Baha mejelaskan.

"Dalam istilah Jawa, bulan Syaban sering disebut juga dengan bulan Ruwah," Jelas Gus Baha

Secara bahasa Ruwahan memiliki makna turunan dari kata "ruwah" yang berarti arwah. Sedangkan secara istilah, ruwahan adalah tradisi yang menjadi ritual mengirim doa kepada arwah leluhur dan para pendahulu yang telah meninggal dunia. Baca Juga: Sambut Ramadhan, Sinar Mas Gelar Bazar Minyak Goreng Murah dan Wakafkan Ribuan Al-Qur’an

Tradisi Ruwahan atau Nyadran dilakukan setiap tahun pada 15 bulan Ruwah atau bulan kedelapan pada kalender Jawa yang bertepatan dengan bulan Syaban dalam kalender Hijriyah. Jadi tradisi Ruwahan dilakukan pada saat Nisfu Syaban.

Pada tradisi Ruwahan diisi dengan acara slametan dengan membuat makanan seperti apem, ketan maupun kolak. Aneka jenis hidangan lezat yang memiliki nilai filosofi yang tinggi bagi masyarakat jawa tersebut disajikan dan dibagikan kepada saudara dan tetangga.

Setelah melakukan tradisi Ruwahan, dilanjutkan dengan tradisi Nyadran yakni masyarakat Jawa melakukan penyucian diri, lalu bersama-sama berkumpul untuk membersihkan makam beserta batu - batu nisan. Setelah makam dibersihkan selanjutnya masyarakat melakukan nyekar ke pusara dengan menabur bunga sebagai wujud penghormatan dan mendoakan arwan leluhur atau keluarga yang sudah meninggal.

Tradisi Ruwahan di akhiri dengan menyantap kenduri bersama - bersama di kawasan masjid, musholah atau di rumah kepala dukuh (desa) setempat. Hidangan kenduri pun beragam seperti nasi tumpeng dengan lauk ingkung ayam berserta urap - urapan (sayuran di rebus lalu di campur dengan bumbu kelapa parut) dan lain sebagainya.

Jika di telisik lebih jauh tradisi Ruwahan menyambut bulan suci Ramadhan ini mengandung nilai kearifan yang berkaitan dengan hubungan antara manusia Tuhan (Hablumminallah), manusia dengan sesamanya (Hablumminannas), manusia dengan lingkungan (Habluminalam). Baca Juga: Jadwal Ramadhan Antara NU dan Muhammadiyah Kerap Berbeda, Ini Penjelasannya

Selain itu tradisi Ruwahan adalah wujud kearifan lokal yang syarat dengan makna. Tradisi ini dapat memperat tali persaudaraan, dan sikap gotong royong antara warga masyarakat.

Namun tradisi Ruwahan dalam pelaksanaannya sudah banyak mengalami degradasi. Dahulu tradisi Ruwahan dilakukan setiap hari pada bulan Syaban. Kini tradisi Ruwahan hanya dilakukan satu kali pada saat nisfu Syaban. *** (Wiji Tri Rahayu)

Editor: Sihar Ramses Simatupang

Tags

Terkini

Hukum Sikat Gigi Saat Puasa, Begini Jawabannya

Sabtu, 25 Maret 2023 | 13:43 WIB

Heri Mulianto Jadi Plh Kepala BPN Jakarta Timur

Jumat, 24 Maret 2023 | 09:45 WIB

ASN Dilarang Gelar Acara Buka Puasa Bersama

Kamis, 23 Maret 2023 | 23:42 WIB

PERJAKIN: Indonesia Butuh Mahfud Md dan Ivan

Kamis, 23 Maret 2023 | 23:01 WIB
X