JAKARTA - Kesadaran perempuan untuk berani melapor atas kekerasan belakangan ini memang menunjukkan peningkatan cukup signifikan. Karena itu perlu ada dukungan signifikan lewat perundang-undangan yang jelas. Percepatan pengesahan Undang-undang Penghapusan kekerasan terhadap perempuan (UU PKS) dapat segera terealisasi karena kian mendesak.
‘’UU PKS sebenarnya sudah masuk Prolegnas sejak 2018 dan pada periode ini, DPR harus bisa menyelesaikan dan segera mengesahkannya, sehingga ada kejelasan dan payung hukum berkenaan dengan masalah penanganan kekerasan terhadap perempuan ini,” ujar Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dalam perbincangan peringatan 16 Hari Anti kekerasan terhadap perempuan, Selasa (10/12/2019).
Dikatakan, dalam budaya patriarki yang sangat kental di Indonesia, perempuan sering dijadikan korban kekerasan dan tidak berdaya karena tidak adanya dukungan keluarga, perangkat sosial serta payung hukum dalam melindunginya. Karena itu pengesahan UU PKS mutlak diperlukan.
“Selain itu, kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak, baik aktivis HAM perempuan, pemerintah, maupun masyarakat secara umum. Salah satu agenda utama yang harus terus diperjuangkan adalah mengupayakan kesadaran masyarakat bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah pelanggaran HAM,” ujar perempuan yang akrab disapa Mbak Rerie ini.
Menurut anggota DPR dari Fraksi Nasdem ini, perempuan terus didorong untuk berani bersuara dan menjadi tugas semua pihak, baik itu aparat, civil society, maupun masyarakat umum untuk terus bergerak melawan kekerasan terhadap perempuan.
Ketua Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC) Nur Setia Alam dalam sebuah perbincangan dengan SUGAWA.ID sempat mengungkapkan pentingnya pengesahan UU PKS dalam melindungi kaum perempuan dari kekerasan. Menurutnya, selama ini perlindungan kepada perempuan masih bersifat lip service. “Harusnya perlindungan terhadap kaum perempuan sudah jadi prioritas, bukan sekadar lip service. Salah satu caranya jelas dengan pengesahan undang-undang PKS tadi,” ujar Nur.
Wakil Bendahara Umum Peradi ini menyatakan lemahnya perlindungan terhadap perempuan karena Komnas Perempuan masih berada di bawah bayang-bayang komnas HAM, padahal sebenarnya posisi mereka harusnya sudah sejajar. “Harusnya Komnas Perempuan dan Komnas HAM ini adalah lembaga yang sejajar, lalu bagaimana untuk bisa mencapai itu, tidak ada lain, lembaga ini harus punya payung hukum yang jelas yakni UU PKS tadi. Sayangnya saat ini masih banyak tarik ulur kepentingan,” ujar Nur.
Nur menyatakan hampir setiap bulan, lembaganya menerima laporan soal kekerasan terhadap perempuan maupun anak. Hanya saja lembaganya saat ini masih kewalahan karena di tiap provinsi lembaganya baru memiliki seorang advokat untuk menghadapi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. “Kadang saya miris juga, ketika ada kasus kekerasan, kami tidak bisa membantu karena keterbatasan yang kami miliki,” tuturnya.(wib)