JAKARTA - Dari tahun ke tahun, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) cenderung mengalami peningkatan. Bahkan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat dari tahun 2018 hingga 2019, tercatat terjadi kenaikan kasus KTP sebesar 14%. Salah satu kasus kekerasan yang kini menjadi sorotan adalah kasus kekerasan seksual lewat cyber (internet).
“Secara umum terjadi kenaikan kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun 2018 ke tahun 2019. Komnas mencatat tahun 2018 terjadi 348.466 kasus kekerasan terhadap perempuan, sedangkan di tahun 2019, jumlahnya naik menjadi 406.178 kasus,” ujar Komisioner Pemantau pada Komnas Perempuan Nurherawati dalam acara refleksi akhir tahun, Indonesian Feminist Lawyer Club (IFLC), Jumat (29/11).
Adapun kasus-kasus kekerasan menonjol yang banyak dialami kaum perempuan antara lain perkosaan 818 kasus, incest 1.071 kasus, persetubuhan 236 kasus, percabulan 321 kasus dan masih banyak lagi kasus-kasus lain. Nurherawati menyebutkan selain kasus-kasus tersebut, yang cukup memprihatinkan Komnas Perempuan juga mencermati kemunculan kejahatan cyber kepada perempuan.
“Yang paling sering berhubungan dengan dijadikannya tubuh perempuan sebagai objek pornografi. Salah satu bentuk kejahatan yang sering dilaporkan adalah penyebaran foto/video pribadi korban di media sosial atau website pornografi. Kasus seperti ini biasanya menghebohkan publik sehingga menambah beban psikis bagi korban,” tambahnya.
Secara terpisah Kasubdit Cyber Crime Direktorat Kriminal Khusus Pokda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu menyatakan bahwa perkembangan teknologi saat ini mau tidak mau menyebabkan pelaku kejahatan cyber makin merajalela. Salah satu yang menonjol adalah kejahatan seksual terhadap anak perempuan lewat dunia maya. “Di dunia maya banyak sekali kita temui kasus bullying dan yang paling memprihatinkan banyaknya anak-anak gadis di bawah umur yang menjadi korban kekejahatan seksual lewat dunia maya,” ujar Roberto.
Sebagai contoh, pihaknya pernah menangani kasus pasangan remaja yang tersangkut kasus kejahatan seksual dengan media internet tadi. Dalam kasus ini ada sepasang remaja yang pacaran dan kemudian melakukan hubungan seksual dan direkam. Ironisnya, ketika mereka putus, mereka saling serang hingga akhirnya video hubungan seksual mereka muncul di dunia maya.
“Mendapatkan kasus-kasus seperti ini, kami dari Unit Cyber Crime Polda Metro pasti akan segera melakukan pendampingan terhadap korban perempuannya. Karena apa, si perempuanlah yang pasti akan menanggung dampak psikologis yang lebih parah, karena dalam video-video seperti ini, biasa wajah si perempuan yang selalu disorot,”paparnya.
Dikatakan hal ini yang membuat pusing pihaknya, karena itu biasa polisi lebih memprioritaskan mendampingi korban wanitanya. Sebab jika tidak didampingi, si korban terkadang berusaha mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Roberto menyatakan sayangnya UU ITE saat ini belum mampu memenuhi seluruh ekspektasi public tentang kejahatan cyber seperti ini. Karena itu pihaknya sudah memberikan masukan kepada Kemnkominfo perlu adanya perubahan UU ITE, bahkan tak sekadar hanya perubahan pihaknya juga menyarankan agar UU ITE diubah menjadi UU Kejahatan Cyber.
“Karena masih terbatasnya kewenangan tersebut, untuk melindungi para korban kekerasan seksual di dunia maya ini, hampir setiap hari kami meminta facebook atau medsos lainnya melakukan pemblokiran terhadap konten-konten kekerasan seksual tersebut. Dan kami harap ke depan kita akan bersama-sama secara masive memerangi para pelaku kejahatan seksual dunia maya ini,” kata Kasubdit Cyber Crime ini. (wib)