Sugawa.id – Kabar akan ditutupnya semua gerai Toko Buku Gunung Agung disambut rasa duka masyarakat Indonesia. Toko buku yang sudah berdiri sejak 1953 itu terus dihajar badai krisis sejak 2013 hingga pandemi Covid-19.
Jika benar akhir 2023 ini semua cabang Toko Buku Gunung Agung ditutup, berarti genap 70 tahun toko buku yang didirikan Haji Masagung itu menemani rakyat Indonesia.
Siapa di balik nama besar Toko Buku Gunung Agung, yang dapat disebut sebagai salah satu toko buku tertua di Indonesia?
Baca Juga: Parah, Lapor Sudah Bangun 4.200 Tower BTS, Johnny G Plate Cuma Bangun 957 Tower, dan Mangkrak!
Dialah Haji Masagung, yang terlahir dengan nama Tjio Wie Tay pada 8 September 1927. Putra keempat dari lima bersaudara ini lahir dari pasangan Tjio Koan An dan Tjoa Poppi Nio. Sang ayah adalah ahli listrik lulusan Belanda. Kakeknya seorang pedagang ternama di Pasar Baru, Bogor.
Melihat latar itu, semestinya Tjio Wie Tay hidup bahagia dan berkecukupan. Sayang, di usia empat tahun, ayahnya meninggal. Sejak itu Tjio Wie Tay menjadi anak nakal, suka berkelahi. Bahkan mencuri buku pelajaran kakak-kakaknya untuk dijual ke Pasar Senen. Itu yang diungkap dalam buku “Bapak Saya Pejuang Buku” yang ditulis Ketut Masagung, putra Haji Masagung.
Wie Tay, begitu panggilannya, harus mencari nafkah sejak usia 13 tahun. Dia sempat menjadi pemain akrobat, kemudian berdagang rokok keliling. Kawasan Senen dan Glodok jadi wilayah operasinya. Dia menabung hingga bisa mulai buka kios rokok di Glodok. Wie Tay mulai berkenalan dengan beberapa pebisnis lain seperti The Kie Hoat dan Lie Tay San.
Baca Juga: City Juara Liga Inggris, Guardiola Tetap Ambisi Menang Liga Champions. Ini Alasannya
Pada 1945, mereka berkolaborasi mendirikan bisnis bernama Tay San Kongsie. Dari rokok, bisnis merambah ke buku. Awalnya buku-buku berbahasa Belanda yang diminati kalangan menengah atas era itu. Lokasi jualannya di Kramat Bunder. Ternyata keuntungan jual buku lebih besar dari jual rokok. Diputuskan untuk fokus ke bisnis buku dan alat tulis.
Tiga tahun kemudian, bisnis dikukuhkan menjadi Firma Tay San Kongsie. Mereka membuka toko buku di Kwitang, tidak jauh dari Pasar Senen.
Wie Tay menikah dengan seorang perempuan bernama Hian Nio pada 13 Mei 1951. Dia berpikir untuk memperluas bisnisnya. Namun Lie Tay San tak bersedia, sehingga terjadi pecah kongsi. Tinggalah Tjio Wie Tay bersama The Kie Hoat, mendirikan toko di Jln Kwitang No 13.
Nama Gunung Agung dipilih sebagai toko buku, berasal dari nama Tjio Wie Tay sendiri. Dalam bahasa Indonesia, nama Tjio Wie Tay bermakna “gunung besar”. Jadilah Toko Buku Gunung Agung.
Toko buku ini disukai kalangan jurnalis dan penulis. Mereka pun ikut bergabung, menulis buku, lalu diterbitkan oleh Toko Buku Gunung Agung. Kelamaan bisnis ini dikenal sebagai penerbit sekaligus toko buku. Secara resmi Toko Buku Gunung Agung diluncurkan pada 8 September 1953, di bawah naungan perusahaan NV Gunung Agung. Digelar pameran buku yang memamerkan sekitar 10 ribu buku.
Artikel Terkait
Azmi Abubakar : Pembangunan Tangsel Tak Boleh Gerus Budaya Lokal
Penamaan Glodok Terdiri dari Empat Versi, Ini Penjelasannya
Asal-usul Cina Benteng, Dari Negeri Tengah Sampai ke Teluk Naga (Bagian 1)
Asal-usul Cina Benteng : Imbas Souw Beng Kong dan Kerusuhan Batavia 1740 (bagian 2)
Asal-usul Cina Benteng : VOC Siapkan Benteng Pengawas bagi Pecinan Tangerang (Bagian 3)
Asal-usul Cina Benteng (4) : Boen Tek Bio Sebagai Cikal Bakal Sebutan Cina Benteng
Azmi Abubakar Menemukan Tuhan Lewat Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
Asal-Usul Cina Benteng : Penyebutannya Salah Kaprah Mengalir Sampai Jauh … (Bagian 5)
Asal-usul Cina Benteng : Sistem Kekerabatan Tionghoa Tangerang Cenderung Lebih Terbuka (Bagian 6 Tamat)
Kisah Hidup Oei Hui Lan, Putri Raja Gula Asal Semarang yang Mendunia