Sugawa.id - Nama Azmi Abubakar belakangan ini kian mencuat di kalangan orang Tionghoa, karena dia mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa tahun 2011 lalu. Museum yang terletak di bilangan BSD City, Tangerang Selatan ini merupakan museum khusus yang menyimpan sejumlah tulisan bersejarah dari para penulis peranakan Tionghoa di Indonesia.
Konon ada 30 ribu lebih koleksi yang dimiliki oleh Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, baik itu berupa komik, roman, cerita silat ataupun biografi para tokoh Tionghoa dan bahkan benda-benda kaum peranakan. Museum ini tak ubahnya seperti miniatur keturunan Tionghoa Indonesia yang banyak tersebar di berbagai kota.
Salah satu barang paling berharga koleksi museum ini justru dipajang di depan pintu masuk Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Barang berharga itu berupa papan nama warna merah yang selalu siaga menyambut para pengunjung yang datang.
Baca Juga: Pj Sekda Banten Tak Lagi Diberi Wewenang Disposisi.Ini Penyebabnya
Menurut cerita sang pendiri museum, Kode Azmi, demikian dia dipanggil, papan nama yang terpampang di depan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa itu merupakan bukti sumbangsih orang Tionghoa di bidang pendidikan. Papan nama itu adalah papan nama milik sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (Zhong Hua Hui Guan) yang berdiri 17 Maret 1900.
Sekolah Tiong Hoa Hwee Koan ini bisa dibilang sebagai cikal bakal sekolah swasta di Batavia atau bahkan di Hindia Belanda, nama Indonesia ketika masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Sekolah ini menjadi sekolah pertama yang berdiri tanpa bantuan pemerintah sepeserpun.
Kembali ke masalah Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, orang tentu akan berpikir mangapa sebagai orang Aceh, Azmi mau mendirikan museum ini dan mau mengurusi sejarah serta kebudayaan orang Tionghoa di Indonesia. Bukankah akan lebih baik jika dirinya membangun museum budaya Aceh atau etnis lainnya di negeri ini.
Baca Juga: Jalan Berlubang di Tangerang Raya, Ini Titik-Titiknya!
Tapi dengan lugas lulusan Institut Teknologi Indonesia Serpong ini menyatakan bahwa dirinya membangun Museum Pustaka Peranakan Tionghoa ini karena dia melihat kebhinekaan sebagai dasarnya.
“Saya berpikir pendirian museum ini merupakan cara saya membangun keindonesiaan. Saya sebagai orang Aceh merasa jadi bagian dari Tionghoa, sehingga saya membangun museum ini. Bukan berarti karena saya orang Aceh harus mendirikan Museum Aceh, atau orang Jawa harus mendirikan museum tentang budaya Jawa,” kata pria asal Aceh ini.
Justru baginya, akan sangat menarik untuk melihat orang Tionghoa membangun museum budaya Aceh, Jawa atau Makassar. Dan etnis lain membangun museum budaya lain. “Atau lebih ekstrem lagi, orang muslim ikut mambangun gereja, Wihara ataupun Pura. Sebaliknya orang Kristen dan yang lain membangun masjid sehingga menonjolkan kebhinekaan itu sendiri. Dengan demikian kebhinekaan bisa jadi kekuatan, bukan kelemahan kita. Museum ini adalah langkah kecil bagi untuk membangun kebhinekaan di Indonesia. Museum peranakan ini adalah cara saya mendekatkan diri kepada Indonesia,” cetusnya.
Baca Juga: PN Depok Vonis Seumur Hidup Dua Terdakwa Sabu Cair
Pria kelahiran 3 Maret 1972 ini juga menyatakan dirinya berani mendirikan museum bagi kaum peranakan Tionghoa ini atas dorongan penulis dan pemerhati budaya Tionghoa, Marcus AS.
“Bahkan Almarhum Pak Marcus AS adalah orang pertama yang mengunjungi museum saya ini. Beliaulah yang mendorong saya untuk terus maju sehingga akhirnya museum ini benar-benar terwujud,” cerita pria yang mendapatkan anugerah nama dan marga Lim Se Ming dari Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia ini.
Artikel Terkait
Asal-usul Cina Benteng, Dari Negeri Tengah Sampai ke Teluk Naga (Bagian 1)
Asal-usul Cina Benteng : Imbas Souw Beng Kong dan Kerusuhan Batavia 1740 (bagian 2)
Asal-usul Cina Benteng : VOC Siapkan Benteng Pengawas bagi Pecinan Tangerang (Bagian 3)
Kebhinekaan Harus Jadi Kekuatan Indonesia, Ini Alasannya
Asal-usul Cina Benteng (4) : Boen Tek Bio Sebagai Cikal Bakal Sebutan Cina Benteng