Asal-usul Cina Benteng : Imbas Souw Beng Kong dan Kerusuhan Batavia 1740 (bagian 2)

- Jumat, 3 Maret 2023 | 10:44 WIB
illustrasi - kegiatan gotong Toapekong masyarakat Cina Benteng di awal tahun 2000an ketika Imlek sudah diperbolehkan  (Sugawa/Wahyu Wibisana)
illustrasi - kegiatan gotong Toapekong masyarakat Cina Benteng di awal tahun 2000an ketika Imlek sudah diperbolehkan (Sugawa/Wahyu Wibisana)

Sugawa.id -Dalam tulisan saya pertama mengenai asal-usul kaum Cina Benteng menyebutkan bahwa kaum peranakan Tionghoa Tangerang ini merupakan keturunan Halung yang beranak-pinak di kawasan Teluk Naga, dalam tulisan ini penulis coba melukiskan dua versi kedatangan Cina Benteng lainnya, yakni dengan kehadiran Souw Beng Kong. 

Dalam tulisan kedua ini, saya coba menyajikan versi lain tentang kedatangan nenek moyang orang Tionghoa ke Tangerang. Dalam versi ini memperkirakan cikal bakal penduduk Tionghoa Tangerang (Cina Benteng) sangat berkaitan erat dengan hadirnya tokoh Souw Beng Kong (1619-1636) di kawasan Banten. Apalagi jarak antara Banten dan Tangerang juga tak terlampau jauh. Bahkan kini Tangerang juga masuk sebagai wilayah tingkat dua di Provinsi Banten.

Konon Souw Beng Kong inilah yang membawa sejumlah perantauan asal Tiongkok masuk ke Banten. Souw Beng Kong juga yang mengajarkan masyarakat Banten dan sekitarnya dalam bidang pertanian sehingga masa itu Kerajaan Banten mencapai puncaknya.

Baca Juga: Asal-usul Cina Benteng, Dari Negeri Tengah Sampai ke Teluk Naga (Bagian 1)

Hubungan harmonis kaum peranakan Tionghoa dengan masyarakat Banten memang tak bisa dipisahkan dan mengakar sejak lama. Bahkan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), pernah memberi gelar Tubagus kepada Encek Ban Cut, selaku pendiri Menara Masjid Banten. Sampai sekarang, konon gelar Tubagus masih dipakai beberapa keluarga Tionghoa Peranakan keturunan Encek Ban Cut di tanah Jawara.

Panduan pelayaran Cina, ”Shunfeng Xiansong” juga menuliskan bahwa kawasan Banten Girang adalah kawasan pelabuhan Banten yang sangat penting bagi perniagaan Cina di nusantara sejak tahun 1500-an. Hal yang sama juga dipertegas dalam sumber-sumber Portugis dari awal abab ke-16.

Sayang kemudian Souw Beng Kong “terbujuk rayuan” VOC dan membawa hijrah masyarakat Tionghoa Banten ke Batavia. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Tionghoa di Banten sempat punya hubungan yang renggang dengan Kesultanan Banten.

Baca Juga: Dari Filosofi Wayang, Gogor Purwoko Pameran di Galeri Nasional

Sementara di Batavia, Souw Beng Kong kemudian diangkat Kompeni sebagai Kapitan Tionghoa yang bertugas memungut pajak terhadap kaum Tionghoa. Dia bertugas sebagai pengatur kawasan pecinan di sana.

Berdasarkan uraian di atas, bukan tidak mungkin kalau ada beberapa etnis Tionghoa yang dibawa Souw Beng Kong, baik ke Banten maupun ke Batavia tercecer di kawasan Tangerang dan membentuk komunitas yang kemudian dikenal dengan istilah Cina Benteng ini. Banyaknya jumlah kaum Tionghoa yang “diboyong” dalam beberapa keberangkatan membuat kemungkinan itu semakin besar.

Versi lain dari sejarah kedatangan nenek moyang kaum Cina Benteng ini, bisa saja muncul setelah adanya peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia tanggal 9 Oktober 1740. Peristiwa ini terjadi di kala Ni Hoe Kong menjadi Kapiten Tionghoa di Batavia.

Baca Juga: Penamaan Glodok Terdiri dari Empat Versi, Ini Penjelasannya

Dalam peristiwa ini Ni Hoe Kong dituding sebagai salah satu tokoh penggerak pemberontakan kaum Tionghoa di Batavia. Pemberontakan itu terjadi, karena Belanda kewalahan dengan jumlah orang Tionghoa di Batavia. Kemudian mereka mengirim orang-orang Tionghoa ini ke Ceylon (Srilangka –Red), tapi kemudian orang Tionghoa ini dikabarkan banyak dibunuh yang mengakibatkan sejumlah orang Tionghoa di Batavia menyusun kekuatan, salah satunya adalah Kapitan Sie Pan Tjiang atau Sepanjang.

Akibatnya pemberontakan itu, Ni Hoe Kong dicopot dari jabatannnya sebagai Kapitan dan dibuang ke Ambon. Sementara itu sekitar 10.000 orang Tionghoa di Batavia jadi korban pembantaian Belanda. Peristiwa ini dikenang orang sebagai peristiwa Angke, dalam bahasa Hokkian “Ang” berarti merah yang diidentikkan darah dan Ke berarti kali atau sungai. Angke sendiri di kalangan Tionghoa berarti Kali Merah, sebagai gambaran banyaknya darah yang mengalir di kali itu, akibat pembantaian yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Adrian Valckenier.

Halaman:

Editor: Wahyu Wibisana

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X