SUGAWAID - Sebuah Studi yang dilakukan seorang sosiolog Profesor Paul Willis mengungkapkan komunitas LGBTQ+ di seluruh Eropa yang telah memasuki masa tua atau pension cenderung untuk tinggal di panti jompo untuk untuk mengatasi kesepiannya.
LGBTQ+ merupakan singkatan dari lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, dan lain-lain sementara tanda "plus" mewakili identitas seksual lainnya termasuk panseksual dan Two-Spirit. Komunitas ini dalam beberapa tahun terakhir ini memang menjamur di kawasan Eropa dan punya kecenderungan untuk tidak memiliki anak atau keluarga.
Bagi para pelaku LGBTQ+ yang sudah tua, kemungkinan pindah ke panti jompo merupakan pemikiran yang mengkhawatirkan. Namun di Swedia, Spanyol, dan Prancis, komunitas pensiunan atau lansia LGBTQ+ terbukti sukses menjalani hidup mereka di panti-panti jompo itu.
Baca Juga: Polres Tangsel Dinilai Lamban Tangani Penipuan Jual Beli Mobil Melalui Medsos, Korban Lakukan Ini
"Staf panti jompo terkadang tak menyadari bahwa mereka memiliki penghuni LGBTQ+, tapi berdasarkan perkiraan populasi kami tahu mereka mengetahuinya. Hanya saja para penghuni tidak merasa nyaman atau aman diidentifikasi sebagai LGBTQ+,” ujar Profesor Paul Willis seperti dikutip Euronews.
Paul Willis menyatakan anggota komunitas LGBTQ+ yang sudah tua punya risiko tinggi dalam kesepian dan mereka cenderung akan melajang dan hidup sendiri. Mereka juga cenderung tidak memiliki anak, sehingga panti jompo merupakan tempat mereka akan menghabiskan masa tuanya.
Komunitas senior LGBTQ+ di Swedia bahkan sengaja mendirikan sebuah panti pada tahun 2013 lalu dengan tujuan untuk mengatasi pengucilan sosial yang mulai bermunculan di seluruh Eropa.Regnbågen, yang berarti pelangi dalam bahasa Swedia telah menjadi komunitas pensiunan LGBT pertama di Eropa. Dan satu dekade kemudian, lebih dari 30 penduduk menyebutnya sebagai “rumah” bagi mereka.
Baca Juga: Dituding Terima Aliran Dana Korupsi BTS Kominfo, Dito Ariotedjo Siap Diperiksa Kejagung
Terletak di pinggiran Kota Stockholm yang rimbun, penduduk Swedia yang berusia di atas 55 tahun lebih memilih menempati bangunan dengan tiga lantai itu daripada kompleks pensiun delapan lantai yang resmi dibangun untuk para pensiunan di negeri itu.
Christer Fällman yang merupakan pendiri Regnbågen, mengaku mendapatkan ide untuk komunitas tersebut saat dia menghadiri Stockholm's Pride 2009.
"Saya menghadiri debat yang diselenggarakan oleh orang-orang LGBT dan mereka mengkhawatirkan masa depan mereka dan dimana mereka akan tinggal. Saya berpikir, poin bagus, di mana saya akan jadi tua orang tua mereka,” kata Christer.
Baca Juga: Ini Sosok Josephine Komara, Disainer Batik Indonesia yang Harumkan Nama Bangsa ke Mancanegara
Bersadarkan survey yang dilansir Dazed, di antara negara-negara di Eropa, Jerman memiliki populasi LGBT terbesar dengan 7,4 persen orang Jerman mendefinisikan dirinya sebagai seorang LGBT.
Dalia Research GmbH Berlin lewat proyek penelitian EuroPulse, mengumpulkan data bahwa di usia antara 15-29 tahun, 11,2 persen didefinisikan sebagai LGBT, sedangkan mereka yang berusia 30-49 tahun hanya 5,7 persen yang mengaku sebagai LGBT.
Artikel Terkait
Tolak LGBT, Erdogan Pastikan Jadi Pembela Nilai Islam Tradisional di Turki
BLINK Panik, Jennie Mendadak Turun Panggung saat Konser BORN PINK di Melbourne, Ini Penyebabnya
Lagu Aldi Taher untuk Messi Diembat Akun Instagram Resmi FIFA World Cup, Netizen Beri Komentar Lucu
Mission Impossible 7 Tayang Perdana 12 Juli, Tom Cruise Bocorkan Momen Menegangkan di Film ini
Setelah Livy Renata, Kini Nopek Novian Gombalin Rekan Mainnya di Film Kejar Mimpi Gaspol
Johnson & Johnson Indonesia Dorong Generasi Muda Perangi TBC Lewat AISEC Future Leader Summer Peak 2023
Tips Mencegah Kolesterol di Hari Raya Idul Adha, Begini Cara Memilih dan Memasak Daging Kurban dengan Benar