SUGAWA.ID – Belum lama ini viral di media sosial, Direktur Utama PT Blue Bird Sigit Djokosoetono menyamar jadi sopir taksi. Bos Bluebird Group itu mengunggah pengalamannya di Instagram Story.
Tak heran kalau Sigit Djokosoetono sudi menjadi sopir taksi, sebab ayahnya, juga pernah menjadi supir taksi. Masa di mana armada taksi keluarganya hanya ada dua unit. Ya, Chandra Suharto Djokosoetono, menjadi sopir taksi pertama saat bisnis keluarga itu dirintis sang ibu, Mutiara Fatimah Djokosoetono.
Mari berkenalan dengan Mutiara Fatimah Djokosoetono.
Lahir di Malang 17 Oktober 1921, Mutiara Fatimah Djokosoetono sebenarnya lahir dari keluarga berkecukupan. Sayang, di usia lima tahun, orang tuanya jatuh miskin.
Walau begitu, pendidikan tetap sangat diutamakan oleh keluarganya.
Tamat dari Sekolah Guru Belanda (Europese Kweekschool), Mutiara Fatimah Djokosoetono lanjut menuntut ilmu di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (FHUI).
Di sini dia berkenalan dengan seorang pria yang juga dosennya, Djokosoetono. Selain dosen, Djokosoetono juga salah satu pendiri Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM). Namun bukan berarti kehidupan mereka berlebihan.
Baca Juga: Menang Telak Atas Chelsea, MU Kirim Liverpool Main di Liga Europa
Lulus dari FHUI pada1952, Mutiara Fatimah Djokosoetono bekerja sebagai dosen di FHUI dan PTIK. Mereka tinggal di rumah dinas Djokosoetono di jalan HOS Cokroaminoto Nomor 107, Menteng, Jakarta Pusat.
Dari pernikahannya, Mutiara Fatimah Djokosoetono dikaruniai tiga anak, Chandra Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo Prawiro. Tinggal di lingkungan elit, bukan berarti keluarga Djokosoetono ikut bermewah-mewah. Justru mereka harus bertahan dengan ekonomi ala kadarnya.
Untuk menambah penghasilan, Mutiara Fatimah Djokosoetono berjualan batik dari rumah ke rumah. Dia tak peduli gengsi, justru senang bisa berjualan langsung ke ibu-ibu pejabat di lungkungan Menteng.
Karena income dari berjualan batik menurun, Mutiara Fatimah Djokosoetono kemudian juga berjualan telur di depah rumahnya. Ternyata cukup berhasil, sebab telur di masa itu tergolong sebagai bahan makanan mewah.
Di tengah suksesnya bisnis telur, cobaan datang. Djokosoetono, sang suami, jatuh sakit. Ternyata sakit yang diderita cukup parah, sehingga beliau wafat pada 6 September 1965.
Artikel Terkait
Andre Sumanegara Siap Ramaikan Bursa Calon Ketua Kadin Tangsel, Ini Kata Sekretaris PHRI
Wow, Selain Mal Mewah di Singapura, Sukanto Tanoto Pernah Beli Istana Raja Jerman
Sosok Bu Rudy, Jualan Sambal dengan Omset Miliaran, Kini Rajin Main TikTok
Ini 5 Fakta Menarik Profil Linda Yaccarino, CEO Twitter Baru
Mengulik Sosok Ibu Dibyo, Ratu Tiket Legendaris, Kian Berjaya di Era Online